"Sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan."
Ujian peserta didik SLTA maupun SLTP kali ini seperti ujian sebelumnya selalu disambut dengan perasaan cemas serta khawatir para peserta didik, pendidik maupun orang tua peserta didik.
Peserta didik kemudian melakukan berbagai cara,belajar semalam suntuk, guru guru berpacu dengan materi dan tak sedikit orang tua peserta didik menjadi terserang depressi serta perut kembung karena memikirkan anak anaknya yang mengadu nasib menghadapi UAN.
Format kelulusan tahun ini agak berbeda karana prestasi peserta didik selama belajar di bangku SLTP maupun SLTA ikut menentukan kelulusan meski dengan nilai koofisien relatip kecil yakni 40 % sementara nilai UAN murni memiliki persentasi 60%. Ini merupakan jawaban dari Kemendiknas terhadap kritik format kelulusan sebelumnya yang hanya ditentukan dari nilai UAN saja.
Dalam pelaksanaan UAN selalu ditemui kecurangan kecurangan untuk memuluskan jalan peserta didik mendapatkan nilai yang "memadai." Kecurangan itu bisa berupa didongkraknya nilai raport, kebocoran soal maupun beredarnya jawaban melalui SMS. Sulit memang untuk membuktikan hal tsb namun rasa keadilan kita tentu bisa merasakan adanya bentuk kecurangan kecurangan itu.
Dilapangan kemudian kita tahu, katakan Si Fulan yang hubungan "konesksi "dengan teman temanya baik akan mendapat nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan seorang anak yang secara akademis baik namun tidak punya koneksi
Tentu kemudian muncul apakah nilai penentuan kelulusan juga menyangkut aspek Afektif maupun Psikomotorik peserta didik ?
Tidak fair kemudian kalau UAN yang lebih fokus menilai aspek pengetahuan siswa dan tanpa melibatkan sikap , motivasi serta perilaku dipergunakan untuk menghakimi nasib peserta didik.
0 komentar:
Posting Komentar