Di tahun tujuh puluhan, siapa yang berani dengan pengayuh kereta angin ?. Tak ada komunitas, malah bisa jadi kami tak mengenal istilah komunitas. Tapi, ikatan pertemanan, persahabatan dan persaudaraan diantara para penunggang kereta angin ini tak usahlah disangsikan lagi.
Selepas subuh, dari sebelah timur suatu kota. Mula mula muncul sebuah sepeda ontel tua dari mulut gang kemudian pada gang berikutnya muncul seorang dengan sepeda jengkinya diikuti dua orang, satu cewe satunya cowo. Tak sampai seratus meter kami menjadi sekelompok , mulanya kami berendeng kebelakang kaya rombongan bebek dengan jarak setengah roda. Semakin ramai kami bersisi sebelahan dengan empat bahkan kadang enam sepeda. Jalan yang nggak beguti lebar seolah menjadi sempit bagi kendaraan tau pengguna jalan dari barat. Mereka lebih banyak mengalah untuk tidak mencari penyakit .
Terbukti kenekatan kami menjadi momok yang menakutkan . Jangan coba berururusan dengan kami. Kena senggol mobil atau sepeda kami bisa menuntut . Sugguh fatal bagi orang yang berurusan dengan kami.
Mau beradu mulut dengan selusin pengayuh sepeda . Itu pada detik pertama. Pada detik berikutnya bisa jadi kami adalah seratusan orang dengan nasib sama yang merasa dizolimi. Tak perlu aba aba untuk menngubah pagi ceria menjadi terikan histeris.
Jadilah kami si raja jalan dipagi menjelang terbit fajar. Tak ada yang berani pada kami. Kami bisa lepas ketawa maupun berbicara keras dan tak ada rahasia nampaknya
Memasuki kota kita berpisah dengan tujuan masing masing. Tak ada yang berekreasi atau sekedar mengari angin.Semuanya sepakat bersepeda kekota menxari nafkah untuk keluarga.
Waktu pun lewat dan kamipun kangen unuk mengenang masa masa itu. Dan idea pun bersambut. Selanjutnya kami canangkan saja dengan bahasa keren CAR FREE DAY.
Cukuplah kami duduk disisi jalan sambil menikmati berbagai aktrasi sera kreasi dari berbagai komunitas anak negri. Sementara sepeda tua itu kami simpan saja di rumah minimalis kami.
gambar dari : kusujud blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar